BIMnews.id | Banda Aceh
“Memasuki satu bulan pasca bencana banjir, longsor dan bandang yang melanda Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat, ribuan warga masih bertahan di pengungsian dengan kondisi serba terbatas.”
Para penyintas berjuang dari hari ke hari untuk memenuhi kebutuhan dasar, mengandalkan bantuan logistik dari para donatur dan distribusi pemerintah.
Situasi ini jelas bukan kondisi ideal yang diharapkan siapa pun.
Menjadi penyintas bukanlah perkara mudah, Selain kehilangan rumah dan sumber penghidupan, mereka juga dihadapkan pada tekanan psikologis yang berkepanjangan.
Dalam situasi seperti ini, potensi munculnya konflik sosial di kamp-kamp pengungsian menjadi ancaman nyata. Perebutan logistik, kecemburuan sosial, hingga ketidakpercayaan antar warga dapat berkembang menjadi persoalan serius jika tidak ditangani secara bijak.
Alumni program PPK, PNPM-MP, dan BRA di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, Junaidi Yusuf, mengingatkan bahwa fase pascabencana merupakan periode paling rawan terjadinya konflik sosial.
Menurutnya, konflik dapat muncul ketika proses pemulihan dilakukan secara tidak adil dan minim partisipasi masyarakat, sehingga memperlebar ketimpangan dan ketegangan sosial yang sebelumnya telah ada.
Dalam konteks Aceh, kondisi ini patut menjadi perhatian serius.
Sejarah konflik panjang yang pernah dialami daerah ini menunjukkan bahwa kekecewaan kolektif terhadap negara dapat berkembang menjadi persoalan yang lebih luas.
Bencana, dalam pandangan Junaidi, kerap berfungsi sebagai “pengganda kerentanan sosial” yang memperparah kemiskinan, ketimpangan, dan minimnya perlindungan sosial terlebih di wilayah yang tengah merawat perdamaian pasca-MoU Helsinki.
Kekhawatiran tersebut semakin menguat ketika proses mitigasi dan pemulihan dinilai berjalan lamban dan tidak terukur. Minimnya pemetaan risiko bencana serta lemahnya pendekatan sosial mendorong sebagian masyarakat di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat mendesak pemerintah pusat untuk segera menetapkan wilayah tersebut sebagai daerah Bencana Nasional.
Sayangnya, dalam banyak kasus, pemerintah masih cenderung menitik beratkan penanggulangan bencana pada aspek teknis dan fisik semata pembangunan infrastruktur, serapan anggaran, dan laporan administratif.
Pendekatan sosiologis sering terabaikan, padahal pemulihan sosial kerap dilakukan secara mandiri oleh masyarakat melalui tokoh adat, tokoh agama, dan komunitas lokal. Padahal, justru pada tahap inilah potensi konflik sosial paling besar muncul.
Situasi ini diperparah oleh cara pemerintah merespons kritik publik. Pernyataan-pernyataan yang tidak sensitif terhadap kondisi penyintas justru melukai perasaan korban dan memperkuat kesan bahwa negara gagap dalam menangani bencana. Ketika negara tampak rapuh dalam menjalankan fungsi dasarnya, kepercayaan publik pun terkikis.
Gejala kekecewaan tersebut mulai tampak di Aceh, salah satunya melalui aksi simbolik pengibaran bendera putih oleh warga terdampak. Fenomena ini dapat dibaca sebagai sinyal peringatan keras bahwa kinerja penanggulangan bencana belum dirasakan maksimal oleh masyarakat. Tekanan mental yang berkepanjangan berpotensi memperburuk konflik sosial jika tidak segera direspons secara komprehensif.
Pengalaman di berbagai wilayah Sumatra menunjukkan pola konflik pascabencana yang berulang. Konflik bantuan menjadi salah satu yang paling dominan ketika distribusi dianggap tidak merata, tidak transparan, atau sarat kepentingan politik. Bantuan yang seharusnya meringankan beban justru memicu konflik horizontal antarwarga.
Selain itu, konflik lahan dan relokasi juga menjadi persoalan krusial. Kebijakan relokasi sepihak tanpa persetujuan warga, ditambah hilangnya batas tanah akibat bencana, kerap memicu penolakan.
Bagi banyak komunitas di Sumatra, tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga identitas, legitimasi sosial, dan ruang hidup. Oleh karena itu, pelibatan tokoh adat dan pemuka masyarakat menjadi keharusan, bukan pilihan.
Pemerintah juga perlu mewaspadai konflik berbasis identitas. Dalam kondisi darurat, perbedaan agama, etnis, maupun relasi antara penduduk lokal dan pendatang dapat dengan mudah dipolitisasi. Ketika kebijakan mengabaikan konteks sosial, konflik laten berpotensi berubah menjadi konflik terbuka.
Padahal, konflik pascabencana bukan keniscayaan.
Aceh pasca tsunami 2004 menjadi contoh penting. Tragedi tersebut justru menjadi titik balik menuju perdamaian melalui Perjanjian Helsinki 2005. Kunci keberhasilannya bukan semata besarnya bantuan internasional, melainkan pendekatan pemulihan yang inklusif, transparan, dan partisipatif dengan melibatkan masyarakat lokal secara aktif.
Sayangnya, pendekatan serupa belum sepenuhnya diterapkan dalam penanganan pascabencana di Sumatra saat ini. Negara masih kerap memposisikan masyarakat sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang memiliki pengetahuan dan kepentingan atas ruang hidupnya sendiri. Pendekatan top-down mungkin terlihat rapi di atas kertas, tetapi sering kali gagal di tingkat sosial.
Kedepan, pemerintah perlu menjadikan perbaikan tata kelola dan mitigasi bencana sebagai prioritas utama. Penanggulangan bencana tidak cukup dilakukan secara teknis, tetapi harus disertai kehadiran negara yang nyata dalam membersamai para penyintas. Penetapan status Bencana Nasional, jika diperlukan, harus dipandang sebagai langkah strategis untuk mencegah konflik dan mempercepat pemulihan.
Bencana seharusnya dipahami sebagai persoalan keadilan sosial, bukan sekadar masalah teknis. Transparansi bantuan, akuntabilitas kebijakan, pengakuan hak masyarakat adat, serta rekonstruksi sosial membangun kembali kepercayaan, solidaritas, dan kohesi sosial harus berjalan seiring dengan pembangunan fisik.
Musibah yang melanda Sumatra semestinya menjadi peringatan keras untuk membenahi sistem tata kelola lingkungan dan kebencanaan secara menyeluruh. Jika pemulihan dilakukan secara elitis dan tertutup, konflik sosial akan terus berulang.
Namun, jika negara berani hadir dengan mengedepankan keadilan sosial dan partisipasi warga, bencana dapat menjadi titik balik menuju pemulihan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, penanggulangan bencana yang tepat sasaran akan mengembalikan kepercayaan rakyat. Negara tidak perlu sibuk membangun citra atau mencari validasi publik, melainkan fokus pada kerja nyata yang dirasakan langsung oleh para penyintas. Di situlah ukuran sesungguhnya kehadiran negara diuji.(***)
_Penulis juga Jurnalis Media Gajaputihnews.com_
BIMnews.id – TAZAM











